Menolong orang lain yang tengah mengalami kesulitan merupakan perbuatan yang baik dan mendatangkan pahala, tapi terkadang orang yang kita bantu justru memandang sebelah mata, bahkan berbuat jahat kepada kita.
Lalu apa yang harus kita lakukan ketika itu terjadi ? kisah ular versus manusia, tentang kebaikan yang tak akan pernah sia-sia, yang layak untuk Bunda Ceritakan kepada buah hati seblelum ia tidur.
kisah ini disampaikan oleh Syekh Ahmad bin Hijazi al-Fasyani, secara persis kisah ini dapat disimak dalam kitabnya al-Majalisus Saniyyah.
Alkisah, hidup seorang laki-laki bernama Muhammad Ibnu Hamir, ia merupakan anak yang rajin berpuasa dan beribadah qiyamul lail.
Suatu saat ia pergi kehutan untuk berburu hewan, akan tetapo ditengah perjalanan ia dihadang oleh seekor.
Si Ular “ Hai Ibnu Amir, Tolong selamatkanlah diriku”
Ibnu Hamir: “Dari siapa?”
Si Ular: “Dari musuhku. Dia berbuat jahat kepadaku.”
Ibnu Hamir: “Musuhmu siapa?”
Si Ular: “Musuhku ada di belakangku.”
Ibnu Hamir: “Kamu dari golongan umat siapa?”
Ular: “Dari umat Muhammad saw.”
Kemudian Ibnu Amir membantu ular tersebut dengan membuka selendangnya namun sang ular menolak :
“Masuk selendang sini aja.”
Si Ular: “Kalau aku di dalam selendang, musuhku akan tahu.”
Ibnu Hamir: “Lalu apa yang harus aku lakukan?”
Si Ular: “Jika kamu sudi berbuat baik kepadaku, bukalah mulutmu hingga aku masuk ke sana.”
Ibnu Hamir: “Aku khawatir kamu akan membunuhku.”
Si Ular: “Tidak, demi Allah. Tak mungkin aku tega membunuhmu.”
Akhirnya Ibnu Hamir menuruti keinginan Ular tersebut dan perlahan membuka mulutnya, kemudian Si Ular pun segera masuk ke dalam tubuhnya.
Benar saja, setelah Ibnu Hamir meneruskan perjalanan beberapa ratus meter, ia berpapasan dengan orang yang membawa parang yang ternyata adalah musuh di ular.
Si Musuh: “Hai Ibnu Amir… !”
Ibnu Hamir: “Ada yang bisa ku bantu?”
Si Musuh: “Apakah kau bertemu dengan musuhku?”
Ibnu Hamir: “Musuhmu siapa?”
Si Musuh: “Musuhku seekor ular.”
Ibnu Hamir: “Maaf aku tidak tahu.”
Demikian ucap Ibnu Hamir menutup-nutupi sembari mengucapkan istighfar 100 kali, karena sebenarnya ia mengetahui di mana Si Ular bersembunyi.
Perlahan Ibnu Hamir melangkahkan kaki meneruskan perjalanan. Setelah cukup jauh Si Ular pun mengeluarkan kepalanya.
Si Ular : “Sudahkah musuhku pergi dari sini?”
Ibnu Hamir : “Ku lihat kiri kanan, tiada siapapun. Jika ingin keluar silahkan.”
Si Ular : “Hai Ibnu Amir.., ada dua opsi untukmu. (1) Kau pilih aku hancurkan limpamu dari dalam; atau (2) aku lubangi hatimu ini dan ku biarkan dirimu tanpa ruh!”
Ibnu Hamir: “Subhanallah … di mana janji yang telah kau ucapkan?” Apakah kau lupa dengan sumpahmu? “
Si Ular: “Mengapa kamu lupa permusuhanku dengan moyangmu, Nabi Adam, dimana aku membuatnya keluar dari surga. Salahmu sendiri, atas dasar apa kau lakukan kebaikan kepada makhluk yang tak sepantasnya diperlakukan secara baik?”
Ibnu Hamir tak menyangka jawaban keji dari ular yang telah ditolongnya sampai-sampai terpaksa berbohong kepada musuh si Ular tersebut.
Ibnu Hamir: “Kau yakin akan membunuhku?”
Si Ular: “Iya, pasti.”
Ibnu Hamir: “ baik kalau begitu, tunggu sebentar hingga aku naik ke gunung untuk menyiapkan diri.”
Si Ular: “Silahkan berbuat semaumu.”
Lalu Muhammad bin Hamir pun naik ke atas gunung di tengah keputusasaan, tak ada harapan lagi untuk hidup di dunia.
Sesampai di puncak, Ibnu Hamir menatap arah langit sembari berdoa:
يَا لَطِيفُ، يَا لَطِيفُ، اُلْطُفْ بِي بِلُطْفِكَ الْخَفِيِّ. يَا لَطِيفُ، بِالْقُدْرَةِ الَّتِي اسْتَوَيْتَ بِهَا عَلَى الْعَرْشِ، فَلَمْ يَعْلَم الْعَرْشُ أَيْنَ مُسْتَقِرُّكَ إِلَّا مَا كَفَيْتَنِيْ هَذِهِ الْحَيَّةَ
Artinya, “Wahai Allah Dzat Yang Mahalembut, wahai Allah Dzat Yang Mahalembut, berlaku lembutlah kepadaku dengan kelembutan-Mu yang samar. Wahai Allah Dzat Yang Mahalembut, dengan kekuasan-Mu yang denganya Engkau menguasai Arsy’, lalu Arsy pun tidak mengetahui di mana kekuasan-Mu, kecuali tidak Engkau lindungi diriku dari kejahatan ular ini.”
Ibnu Hamir kemudian melanjutkan jalannya. Tak disangka, seketika itu ada sosok lelaki rupawan, berbau harum wangi, dan sangat bersih, yang menghampirinya.
Si Rupawan: “Salamun ‘alaika, hai Muhammad. Kenapa kau kelihatan sedih? Ada apa gerangan?”
Ibnu Hamir: “Wa’alaikassalam, hai sudaraku. Musuhku telah berbuat jahat kepadaku.”
Si Rupawan: “Musuhmu di mana?”
Ibnu Hamir: “Di dalam perutku.”
Sejurus kemudian Si Rupawan itu memberikan suatu daun hijau seperti daun Zaitun kepada Ibnu Hamir, sambil berkata:
“Hai Muhammad Ibnu Amir, kunyahlah daun ini. Setelah itu kau telan.”
Tak terduga, seketika Ibnu Hamir mengunyah dan menelannya, Si Ular berputar-putar di dalam perutnya dan keluar berkeping-keping dari arah bawah atau duburnya. Menyaksikan keajaiban itu.
Ibnu Amir : “Siapa sebenarnya dirimu, dimana Allah telah menyelamatkanku dengan perantara dirimu?”
Si Rupawan : “Apakah kamu belum kenal diriku, hai Muhammad?”
Ibnu Hamir: “Belum.”
Si Rupawan: “Mengertilah wahai Muhammad bin Hamir! Saat kau dianiaya oleh Si Ular dan kau berdoa dengan doa tadi, para malaikat di langit mengadu kepada Allah swt dan Allah pun segera mengutus diriku datang menolongmu. Aku adalah malaikat Ma’ruf yang tinggal di langit keempat. Dikatakan kepadaku: ‘Pergilah ke Surga, ambil daun berwarna hijau, dan segera berikan kepada hamba-Ku, Muhammad bin Hamir.’
Si Rupawan : Karena itu, wahai Muhammad Ibnu Amir, tetaplah berbuat baik kepada orang lain. Karena perbuatan baik itu akan menjaga pelakunya dari keburukan. Meskipun orang yang dibaiki—atau diperlakukan secara baik—tidak memedulikannya, namun di sisi Allah kebaikan tidak akan pernah akan tersia-sia.”
Kisah tersebut mengajarkan, bahwa , kebaikan kita kepada orang lain tidak akan pernah sia-sia. Walaupun orang yang diberi kebaikan tidak membalas, atau bahkan ia tidak mengakuinya.
Namun sudah menjadi sunnatullah,bahwa kebaikan pasti akan dibalas oleh Allah swt. Kebaikan tidak akan pernah sia-sia. Bahkan kebaikan akan menyelamatkan kita dari arah yang tidak terduga. Wallahu a’lam.